Sunday, May 10, 2020

BERLIAN SI PENGGALI EMAS

Sebut saja dia Berlian. Gadis berusia 12 tahun, kulit kecoklatan dan mempunyai rambut ikal hitam yang terkadang terlihat beberapa helai dari balik kerudung kusamnya. Dia anak yang aktif, energik, dan merupakan salah satu pemain futsal wanita andalan di kelasnya. Kelincahannya dalam menggiring bola dan kecepatan berlarinya yang tidak dapat diragukan lagi, membuat saya tak pernah ragu menjadikannya sebagai kapten tim futsal kelas VI. Yah, sebab saya adalah guru wali kelas VI di SD Inpres Borong Jambu 1 Makassar tempat berlian bersekolah.
Menjadi seorang guru sebenarnya bukanlah impianku. Namun seperti yang banyak orang ucapkan, garis tangan selalu mempunyai rahasianya sendiri. Saya bahkan tak pernah menyangka akan dapat berbaur dan berdamai dengan anak-anak yang kupikir, kerjaannya hanya bisa bikin repot saja. Belum lagi jika membayangkan anak-anak yang ingusan sambil salaman. Uuuuhhhhh…rasa-rasanya menjadi guru adalah keputusan terberat yang akan saya jalani di sepanjang hidupku.

Waktu terus berjalan, jam berputar, dan saya harus bisa menjalani profesiku dengan professional. Saya tak lagi boleh mengeluh, atau bahkan menyesali keputusan ku ini untuk terus lanjut menjadi seorang guru. Penyesalan itu percuma. Tapi dengan berdamai menjalaninya, adalah keputusan yang cukup bijak. Walaupun disisi lain saya harus rela melepaskan impianku untuk bekerja kantoran. Namun lagi-lagi, percayalah bahwa melepas bukan berarti telah kalah. Melepas impian yang sejak dulu kuinginkan, bahkan tak cukup berat ketika melepas dia dengan yang lain eheheh. Bukankah hidup ini akan selalu menjadi petualangan yang menyenangkan? Bahkan bukankah rasa takut itu akan hilang hanya dengan melawan rasa takut itu sendiri kan? Maka, menjalani semua keputusan yang telah terpampang nyata di depan mata akan menjadi petualangan yang paling seru, dan menyenangkan. Sebab disana, terdapat begitu banyak kejutan yang tak pernah terbayangkan.

SD Inpres Borong Jambu 1 adalah sekolah kedua tempatku bekerja sebagai guru. Setelah sebelumnya, saya mengajar menjadi guru pengganti di salah satu SD Negeri di Makassar. Namun ku putuskan untuk resign sebab saya tidak mengalami peningkatan apapun di sekolah sebelumnya tersebut. Petualangan seru yang selalu ku yakini tersebut, akhirnya mulai kudapatkan di SD Borong Jambu tersebut. Mulai dari teman guru yang umurnya tak jauh berbeda dengan ku. Sebab di sekolah tersebut, hanya terdapat 4 orang guru yang berstatus PNS (kepsek, guru kelas 1, guru kelas 3 & guru agama (almarhumah)). Untuk takaran sekolah dua rombongan belajar, sekolah tersebut sangat kekurangan guru. Maka jadilah untuk kelas 2,4,5 dan 6 dipegang oleh 7 orang guru honorer termasuk saya. 

Guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut adalah guru-guru muda & fresh graduation. Maka dalam hal beradaptasi dengan lingkungan sekolah, itu adalah hal yang cukup muda bagiku. Terlebih lagi, kami semua dapat nyambung saat bercerita satu dengan yang lainnya. Hal menarik lain yang membuat saya tertantang untuk mengajar di sekolah tersebut, yaitu karena lokasi sekolah yang berdekatan dengan tempat pembuangan sampah. Selain harus berjuang menahan bau sampah yang begitu dahsyat, sebagai guru kami pun harus dapat mengajar dengan metode pengajaran yang menarik agar siswa mempunyai minat yang besar untuk tetap bersekolah hingga tamat. Sebab tak sedikit siswa-siswi yang bersekolah di sekolah tersebut, adalah anak yang ketika pulang sekolah mereka harus lanjut mencari butiran-butiran emas yang terdapat dalam gunungan sampah.

Ada banyak hal yang sebenarnya kita lihat, tapi tak pernah benar-benar terlihat. Mungkin seperti itulah ungkapan yang tepat untuk beberapa siswa ku di sekolah tersebut. Masuk ke kelas, suasana terlihat begitu normal seperti sekolah-sekolah lainnya. Ada banyak siswa-siswi yang duduk dengan rapi di setiap bangku sekolah, memakai seragam, membawa peralatan tulis menulis. Semua normal, ada yang suka ceria tersenyum, ada yang jahil, ada yang pendiam, bahkan ada pula yang tukang tidur. Ketika bel berbunyi semua berlarian keluar kelas, jajan ini dan itu. Sangat normal, kehidupan anak kecil yang masih polos. Namun dibalik situasi-situasi normal itu, kita tak pernah tahu dari mana alat tulis mereka itu. Apakah dari toko yang mewah? Toko kelontong? Atau bahkan, itu adalah salah satu butiran emas dalam gunungan sampah yang mereka temukan setelah sehari sebelumnya merekah peluh? Kita tak pernah tahu, tawa yang mereka bawa ke sekolah itu karena apa? Apakah karena hari itu mereka benar-benar telah ceria? Atau karena sebentar lagi akan datang relawan yang membawa kotak nasi untuk mereka?

Petualangan itu, benar-benar telah ku mulai. Berlian. Kapten tim futsal yang hingga kelas 6, ia belum begitu lancar membaca. Bahkan berulang kali saya harus memberi dia tambahan jam pelajaran untuk membaca lancar. Namun berulang kali pula, ia terpaksa harus isin untuk tidak hadir di jam tambahan itu karena harus kembali menyapa tumpukan sampah yang tepat berada disamping rumahnya. Tumpukan sampah yang ketika orang-orang melewatinya, mereka hanya bisa ngomel dengan baunya yang menyegat. Tapi tidak bagi Berlian dan keluarga serta beberapa penduduk yang tinggal tepat berdampingan dengan sampah-sampah tersebut. Bagi mereka, tumpukan sampah itu tetaplah menjadi anugerah untuk menemukan butiran-butiran emas yang mungkin masih dapat mereka gunakan kembali. Bahkan tak jarang, Berlian menemukan sejumlah alat tulis yang merupakan produk gagal, namun masih tetap dapat digunakan. 

Berlian sebenarnya bukanlah anak yang malas. Hanya saja, karena keinginannya untuk bertahan hidup pun begitu besar, maka ia harus ikut bekerja memulung bersama orang tuanya. Mencari benda-benda ajaib di dalam gunungan sampah sama sekali bukan hal yang mudah. Bau sampah yang menyegat, belum lagi pecahan beling ada dimana-mana, dan terik matahari pun menjadi tantangan tersendiri bagi Berlian. 

Bahkan, tak sedikit pelajaran hidup yang dapat diambil dari Berlian. Ketika hidup harus terus berjalan, dan disisi lain ia pun harus berjuang untuk tetap dapat bersekolah, maka kerja keras adalah jawabannya. 

Perjuangan Berlian pun saat itu kulihat dengan jelas, ketika Ujian Nasional hari pertama ia tak muncul di sekolah. Maka bersama dengan seorang teman sejawat, saya memutuskan untuk menjemput di rumahnya. Belum juga tiba di rumahnya, perutku terasa mual, ingin muntah dengan bau sampah yang telah menggunung di sekitaran tempat tinggal Berlian. Saat itu saya tersadar, kehidupan keras yang beberapa siswa ku jalani selama ini. Adik Berlian membantu ku mencari Berlian. Ibunya yang kutemui di rumah terkejut melihat kedatanganku. Setelah berbincang dan menjelaskan maksud kedatanganku, ibu Berlian akhirnya setuju jika saya membawa Berlian kembali ke sekolah untuk menjalani Ujian Nasional agar Berlian dapat ijazah. Berlian yang kucari, ternyata telah berada ditengah-tengah gunungan sampah untuk mencari butiran-butiran emas yang dapat ia jadikan uang. Setiba ia di rumah, ia langsung meletakkan karung kusamnya di depan tangga rumah kemudian bergegas bersiap-siap ke sekolah setelah mendengar penjelasanku. Akhirnya aku beserta teman sejawat berhasil membujuk Berlian untuk mengikuti Ujian. Saya pun akhirnya membonceng Berlian ke sekolah dengan perasaan lega.

2 comments:

  1. Mantap master, inspiratif

    Sukses sll buat master ...

    ReplyDelete
    Replies
    1. alhamdulillah...siapp makasih master, sukses juga buat master...

      Delete